Sunday, January 20, 2008

Senyum Marni

(Tanggal asli postingan ini : 26 Juli 2007)

Gerimis tidak menggoyahkan ibu itu untuk beridiri di ujung tangga jembatan penyebrangan. Seperti hari-hari sebelumnya, ibu itu menggendong anaknya dengan kain panjang di tangan kirinya sambil membawa sekantung plastik besar tissue Pigeon dan permen Xie-C di tangan kanannya. Dengan sunggingan senyum ikhlasnya, ibu itu menawarkan tissue pada tiap orang yang melewatinya, “tissue pak, tissue bu”.

Meski kuperhatikan tak satupun dari pejalan kaki membeli tissue seharga Rp.1000 itu, tapi ibu itu tak henti tersenyum pada setiap orang yang ditawarkannya. Kalau orang yang melewatinya membalas senyumannya, dia akan berterimakasih dengan tulus, “terimakasih bu”.

Ibu itu jadi langgananku sejak 3 bulan lalu aku mulai bekerja dan melewati jalan ini. Setiap pagi kulewati jembatan penyeberangan itu untuk menunggu bus menuju kantorku di daerah Jakarta Kota. Sebenarnya aku tidak terlalu perlu tissue, karena dikantorku sudah disediakan tissue di setiap meja karyawan. Tapi menerima senyum dan ucapan terimakasih yang tulus setiap pagi menambah kepercayaan diriku untuk memulai hari.

Suatu hari, kucoba untuk melewati jalan itu di hari sabtu,

"Bu, sudah siang, saya perhatikan ibu dan anak ibu belum makan sejak tadi", sapaku.

"Oh, hari ini kerja juga mbak ? biasanya kalau sabtu saya nggak lihat mbak", ternyata dia mengenaliku.

"Tidak bu, saya hanya lewat saja. Ibu sudah makan?”

“Belum mbak, tanggung sebentar lagi”

“Tapi sekarang sudah jam 1 lho bu, anak ibu tidak lapar?”

“Iya, tapi uang untuk makan siang kami belum cukup mbak. Hari ini saya kesiangan, baru mulai jualan jam 11 tadi”

“Ya sudah, hari ini saya traktir yah bu. Kebetulan saya ulang tahun”

“Ah, nggak usah mbak, saya nggak mau berhutang”

“Tidak bu, ini bukan piutang, tapi saya yang taktir ibu kok”

Akhirnya dengan sedikit memaksa, aku berhasil mengajak ibu itu makan siang bersama di warung dekat situ. Dia bercerita banyak tentang hidupnya. Namanya Marni. Suaminya meninggal tahun lalu dalam sebuah kecelakaan bus ketika sedang berjualan di dalam bus. Kejadian itu memaksanya untuk memutar otak mencari penghasilan untuk 3 anaknya. Anak sulungnya duduk di kelas 6 SD. Selain sekolah, anak itu membantu ibunya menjaga warung kelontong kecil mereka. Anak keduanya masih kelas 3 SD. Kadang dia ingin ikut ibunya berjualan, tapi Marni selalu melarangnya, karena tak tega melihat anaknya menjadi anak jalanan. Sedangkan si bungsu tak bisa lepas dari ibunya. Kalau ditinggal berjualan dia akan menangis sejadi-jadinya, sehingga Marni tidak pernah bisa meninggalkan anak bungsunya itu dirumah. Marni bertekad menyekolahkan semua anaknya. Dia tidak ingin mereka tumbuh menjadi seperti orangtuanya. Dia ingin ketika besar nanti, ketiga anaknya dapat membuatnya bangga.

Jarum pendek sudah menunjuk ke angka 2, sedangkan jarum panjang tepat di angka 12 ketika seorang anak berusia 9 tahunan memasuki warung tempat kami makan dan menghampiri Marni,

“Ibu, mbak Sulis sakit. Badannya panas sekali. Tadi Anwar kasih kain dingin di kepalanya. Dia nyebut2 ibu terus bu…”

“Ya Allah, kenapa Sulis. Ayo nak, kita cepat pulang. Mbak, makasih yah makannya, tapi saya harus cepat pulang".

“Iya bu, nggak papa. Saya juga harus pulang sekarang. Sebentar yah bu” Kuambil uang dari dompetku, dan kubayarkan sebagian pada pemilik warung makan.

“Bu Marni, ini sedikit dari saya, semoga cukup untuk mengobati Sulis ya Bu”.

“Aduh mbak, tapi saya…”

“Ibu, sekarang ibu bawa dulu saja. Ibu pasti perlu untuk mengobati Sulis nanti. Saya tidak bisa membantu apa-apa bu, hanya bisa ini"

"Baik mbak, terimakasih yah. Saya nggak tahu gimana harus menggantinnya”

“Ibu tidak usah memikirkan cara menggantinya. Melihat senyum ibu setiap pagi selama ini saja sudah sangat menghibur saya”

“Makasih yah mbak, makasih…”

“Sama-sama bu”

Lalu Marni tersenyum tulus sebelum pulang sambil menggandeng Anwar.

Itu terakhir kali aku melihat wanita perempat baya itu. Selama sebulan penuh kutunggu kehadirannya di ujung tangga jembatan penyeberangan, tapi tak kulihat seharipun kehadirannya. Kutanya pada penjual minuman yang sering mangkal di dekat situ, katanya sebulan yang lalu anak sulungnya meninggal karena demam berdarah. Sejak itu dia menjaga toko kelontong besar di dekat rumahnya. Karena ingin tahu kabar terbaru Marni, kutanya alamat rumah wanita itu pada penjual minuman tadi.

Suatu sabtu, kuajak temanku ke daerah bantar gebang, Bekasi, rumah Marni yang ditunjukkan oleh penjual minuman. “Bantar gebang – Jati bening? Jauh sekali Marni berjualan tissue”, pikirku.

Ketika kutemukan sepetak rumah kontrakan dengan toko kelontong kecil, Anwar sedang bermain kelereng dengan teman-teman sebayanya. “Mbak Ndari!!! Sebentar yah mbak, Anwar panggil Ibuuu”. Rupanya jagoan kecil itu masih ingat padaku, padahal pertemuan kami sebulan yang lalu sangat singkat.

Tak lama Marni muncul dari arah yang berlawanan dengan arah kami datang.

“Mbak Ndari..aduh mbak, jauh-jauh kesini..”

“Saya ingin tahu kabar Bu Marni. Sejak sebulan yang lalu saya tidak pernah melihat ibu berjualan tissue lagi..”

“Iya..Mari mbak masuk..”

Kukenalkan sahabatku pada Marni, “Ini teman saya, Safi”. Marni juga mengenalkan rumah mungilnya pada kami.

Toko kelontong kecil yang bertengger di depan rumahnya ternyata dijaga oleh Anwar, sementara Marni bekerja pada toko kelontong besar di ujung gang rumahnya. Marni bangga pada anaknya itu. Dia menceritakan prestasi Anwar di sekolahnya. Selain pandai di sekolah, Anwar juga pandai berdagang, cerita Marni.

Marni juga bercerita tentang kematian Sulis. Katanya, ketika sebulan yang lalu Anwar menghampiri kami di warung makan Jati Bening, Sulis mengalami panas hebat. Apalagi setibanya dirumah, Marni menemukan bintik-bintik merah di tangan gadisnya itu. Setelah bertanya macam-macam pada Sulis, akhirnya Marni baru tahu kalau sebenarnya Sulis sudah mengalami demam sejak seminggu sebelumnya, tapi Sulis menyembunyikannya dari Marni karena takut ibunya khawatir.

"Saya sangat menyesal mbak. Kenapa saya nggak tahu apa-apa tentang anak saya. Harusnya saya bisa melihat kalau Sulis nggak enak badan waktu itu”, ungkapnya sambil sesekali menangis mengingat kejadian pahit itu.

“Sulis anak yang baik mbak, dia pasti tidak ingin merepotkan mbak. Ikhlaskan saja kepergiannya ya mbak. Mudah-mudahan diterima disisi-Nya..”

Lalu kami mengobrol banyak. Marni senang bekerja di tempat ia bekerja sekarang. Selain penghasilannya lebih besar dari berjualan tissue, Marni jadi bisa mengawasi Anwar dan Retno, anak bungsunya.

Sahabatku, Safi tertarik dengan keluarga Marni. Kami memutuskan untuk memberi Marni modal untuk usaha. Karena Marni telah memiliki toko kelontong, Safi mengusulkan agar Marni menggunakan uang itu untuk memperbesar tokonya. Atau mengubahnya menjadi toko sayur. Marni menyambut baik usul Safi dan sangat berterimakasih pada kami. Sekali lagi aku dapat melihat senyuman tulus di wajah Marni. Ternyata itu yang membuatku penasaran selama ini. “Wanita ini hebat”, pikirku. Ketika kutanyakan padanya, mengapa dia bisa terus tersenyum seperti itu, dijawabnya dengan, “Saya Cuma mau anak-anak saya jadi orang mbak. Makanya, saya mau semua yang saya lakukan diberkahi Allah. Saya harus benar-benar ikhlas dan tulus untuk mendapatkan ridho-Nya”. Aku dan Safi kagum padanya. Kemiskinan tidak menghalanginya untuk tetap berfikir jernih. Sebuah pelajaran penting yang dapat kuambil hari itu.

Thamrin, 26 Juli 2007

~4 hari terakhirku di Marubeni~


No comments: