Monday, June 22, 2009

Berdialog dengan sang Hujan

Dear hujan,
Seperti engkau mencuci bersih debu-debu di atas aspal yang hitam legam,
Cucilah bersih kotoran dari hati ini..
Putihkanlah kembali pikiran ini dari prasangka-prasangka buruk..
Alirkanlah ke lautan, sehingga terbawa jauh oleh ombak..

Dan sang hujan pun membalas..

Wahai manusia,
Hanya Allah-lah tempatmu mengadu,
Bukan aku, bukan benda-benda lain ciptaanNya..
Sholatlah dan mengadulah padaNya..
Insya Allah Dia akan membantumu,
Mengabulkan doa dan permintaanmu..
Seperti janjiNya,
Dan Apabila Hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Al Baqarah: 186)
Maka Allah pasti menepati janjiNya

Monday, June 15, 2009

Aku hanya manusia




Manusia
Saling menyakiti, saling tersakiti
Berbicara semaunya, tertawa semaunya
Semua terserah diri

Manusia
"Itu cuma bercanda"
"Dia tidak serius"
"Jangan diambil hati"
Dan beribu alasan lainnya

Tapi sadarkah?

Ada hati yang tergores
Terluka meski tak dalam
Ada diri yang terusik
Terganggu kenyamanan

Karena aku manusia
Bukan malaikat atau nabi
Punya perasaan, punya hati
Bisa tersakiti meski oleh hal kecil sekalipun

Saturday, April 25, 2009

Surat Untuk Bapak

Dear bapak,

Pak, apa kabarnya?

Sudah hampir setahun aku tinggal jauh dari Bapak. Sudah selama itu juga kita nggak ketemu ya Pak. Jarak yang ditempuh selama 7 jam dengan pesawat terbang ini bukan pendek, jadi aku nggak bisa kapan aja pulang ke rumah.

Pak, sering deh di televisi sini ada siaran tentang seorang Ayah.
Pernah ada tentang seseorang yang bercerita tentang Ayahnya. Tapi aku nggak pernah mau nonton acara kayak gitu. Soalnya pasti aku keinget Bapak, dan langsung sedih.

Kenapa aku sedih kalau inget Bapak?
Bukan berarti memori tentang Bapak membuatku sedih lho Pak, tapi kalau inget Bapak, pasti aku inget hal-hal yang Bapak lakukan demi aku dan adik.

Bapak pasti mau beliin apaaa aja yang aku minta, entah semahal apapun itu, padahal kadang-kadang yang kuminta belum tentu akan kupakai. Kadang benda itu terlalu indah untuk dipakai, sampai aku nggak percaya diri memakainya. Mama pasti tahu itu, makanya Mama nggak pernah mau beliin aku benda seperti itu. Tapi Bapak mendengarkan setiap permintaanku. Pernah suatu hari aku meminta sesuatu di Mall, dan Bapak nggak membelikanku barang itu, aku ngambek dan Bapak diam saja. Wajah keras Bapak saat itu membuatku takut dan berhenti ngambek. Tapi minggu berikutnya, waktu aku dan Bapak ke Mall itu dan melewati toko yang menjual barang yang seminggu sebelumnya kuinginkan, Bapak menegurku dengan berkata, ”kamu nggak mau beli itu nduk? Lagi diskon lho”. Ya Allah Bapak, ternyata Bapak masih ingat barang yang kunginkan, dan saat itu Bapak nggak membelikanku karena harganya masih terlalu mahal..

Waktu aku lulus SMA dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi, Bapak setuju saja aku mendaftar di universitas swasta yang aku mau. Padahal Bapak tahu, aku ingin masuk universitas itu hanya karena tempatnya bergengsi dan ada temanku disana. Waktu itu, nggak sedikit juga aku mendaftar ke universitas swasta untuk cadangan. Kalau kata Bapak, ”jaga-jaga kalau kamu nggak lulus Negeri”. Padahal Pak, kalau dihitung-hitung, anggaran yang Bapak keluarkan untuk uang pendaftaranku di universitas-universitas swasta itu tidak sedikit..

Oya, aku selalu penasaran, kenapa Bapak lebih memilih naik motor untuk ke kantor dan membiarkan mobil menganggur dirumah yah. Pernah kutanya Mama tentang itu. Kata Mama, ”iya, kata Bapakmu, kalau pakai motor lebih irit bensin dan biaya perawatannya daripada mobil”. Padahal Bapak selalu mengizinkanku memakai mobil kapan saja aku mau.

Pak, setelah aku lulus kuliah aku selalu melihat Bapak bawa bekal ke kantor. Waktu kutanya Mama lagi, Mama bilang, Bapaklah yang meminta Mama untuk bikin bekal, soalnya lebih irit, biar bisa nabung untuk kuliah adik. Padahal kalau kita belanja besar di supermarket serba ada, Bapak selalu mengijinkan aku dan adik membeli apa saja, meskipun Bapak melarang Mama membeli macam-macam barang sih,,hehehe.

Dulu aku masih manja dan selalu merengek minta apa saja ke Bapak. Aku nggak pernah sadar kalau setiap permintaanku selalu dikabulkan oleh Bapak. Meskipun sedang sulit, tapi Bapak selalu mengusahakan agar keinginanku dan adik terwujud.

Sekarang aku ngerti Pak, Bapak selalu berusaha menyenangkan kami. Bapak nggak mau kami kecewa. Cara Bapak memanjakan kami itu bikin aku makin sayang sama Bapak, bikin aku terharu dan kangen setiap ingat Bapak.

Bahkan meskipun sekarang aku sudah menikah dan tinggal dengan suamiku di tempat yang jauh dari Bapak, Bapak selalu menanyakan keadaan kami, apakah kami kekurangan atau tidak, apakah kami bahagia atau tidak. Pak, alhamdulilah kami nggak kekurangan disini, dan insya Allah kami bahagia, Pak.

Sekarang aku sedang mengandung, insya Allah dalam beberapa bulan lagi Bapak akan punya cucu pertama. Doakan kami yah Pak, agar kami bisa menjadi orang tua seperti Bapak dan Mama, yang menyayangi anak-anaknya dengan tulus, tanpa pamrih, tanpa kenal lelah. Agar kami bisa mengajari anak-anak kami tulusnya kasih sayang orang tua, dan mendidik anak-anak kami agar menjadi anak yang soleh dan solehah.

Aku sayang Bapak.

Tokyo, 26 Agustus 2008

Ully

*****************************
Tulisan ini diikutsertakan dalam "Menulis Tentang Bapak, Yuk!"

Saturday, July 26, 2008

Singgasana Kesayangan

Tanpa menoleh sedikitpun dari layar komputer, Angga memasukkan sesendok nasi dengan tangan kirinya.

“Anggaa, makan pake tangan kanan !” Tegur ibunya yang tidak sengaja lewat di depan kamarnya.

Satu jam kemudian,
Kriiiing kriiiiing
“Ngga, telpon nih dari Ayu” Panggil Bimo, adiknya
“Bilang Angga lagi sibuk!” Sahut Angga masih di depan komputer.

Dua jam kemudian,
“Anggaaa, haduh anak iniii. Sekarang udah jam berapa hayo. Kamu belum Dzuhur yah?!”
“Bentar maaa”
“Sekarang udah ashar lho!”
“Iya nanti Dzuhurnya dijamak aja” Jawab Angga cuek

Tiga jam kemudian,
Angga yang mulai lelah duduk di depan komputer sejak pagi akhirnya beranjak dari singgasana kesayangannya itu. Dia berjalan ke lemari es, mengambil sekotak coklat dan sebotol air putih. Tiba-tiba Angga menyadari sesuatu. Rumahnya mendadak sepi. Tidak ada suara Bimo yang merengek ataupun ibunya yang sering memarahinya.

“Maah, mama lagi ngapain?”
Hening. Tak didengarnya jawaban dari ibunya

“Woi Bimo, sekarang jamnya kartun tuh, lo kan suka nonton itu!”
Sepi. Bahkan acara yang tak pernah alpa ditonton adiknya itu tak menarik perhatian sang adik.

Aneh, pada keluar kemana ya. Tak biasanya ibu dan adiknya meninggalkannya sendiri. Biasanya mereka selalu pamit kalau ingin pergi.

Ah, bentar lagi juga papa pulang, pikirnya. Lalu angga kembali melanjutkan keasyikannya.

Satu jam berlalu.
Duh, sampe papa juga nggak pulang-pulang sih.

Angga mulai panik. Adzan maghrib telah berkumdang dari masjid dekat rumahnya Seharusnya ayahnya sudah sampai dirumah sejak setengah jam yang lalu. Ayahnya selalu pulang sebelum adzan maghrib berkumandang.

Angga berlari keluar rumah. Dihampirinya rumah tetangga, barangkali ibunya sedang asyik bergosip dengan ibu sebelah hingga lupa waktu. Tapi rumah sebelah pun tidak menunjukkan adanya kehidupan. Tak ada suara inem yang biasanya menyanyi sambil mengepel lantai.

Sekarang Angga berlari ke warung pakde. Mungkin saja ibunya sedang belanja disana. Tapi lagi-lagi hanya keheningan yang ditemukannya. Warung pakde hari ini sepi, tak ada pengunjung. Tak ada pula pakde yang selalu duduk di depan warungnya dengan singlet dan sarung apek kebanggaannya sambil menghisap rokok.

Ah, pasti di masjid. Tadi kan adzan maghrib. Mungkin orang-orang sholat disana trus langsung ikut pengajian.
Lalu bergegaslah Angga ke masjid Al Muhajirin, masjid terbesar diantara masjid-masjid komplek sekitarnya.

Kali ini Angga menemukan harapan. Suara orang-orang yang melantunkan ayat Al-Quran terdengar dari dalam masjid. Namun suara itu tiba-tiba berhenti. Angga yang penasaran pun masuk ke dalam masjid.
“Assalamualaykuuum..”
Kosong.

Tak dijumpainya seorangpun warga kompleknya sedang mengaji di dalam masjid.
Rupanya suara keramaian yang didengarnya tadi hanya rekaman kaset yang diputar dengan tape di depan mikrofon.

Duh, kemana nih orang-orang, pikirnya lirih. Angga semakin panik. Dia berlari kesana kemari, memanggil siapapun yang dikenalnya. Tapi tak satupun jawaban yang diterimanya. Hanya angin sore yang mengejeknya, menghembuskan debu dan dedaunan kering ke arahnya.

Angga kembali ke rumahnya. Tenang, tenang, ini pasti mimpi. Tadi kan gue lagi main, pasti semuanya akan pulih kalo gue main lagi, pikirnya.

Angga pun kembali ke singgasana kesayangannya. Tapi kali ini teman terdekatnya itu pun tidak memihaknya. Layar komputernya kini berwarna biru terang. Sederet kata-kata dalam tinta putih muncul bergerak menyamping,


“Ini bukan permainan. Sebagai hadiah dari kami atas keberhasilan anda melewati setiap babak, kini anda memiliki dunia anda sendiri. Anda bebas melakukan apa saja di dalamnya. Oh ya, demi terbangun dunia yang indah, tentu saja kami harus menghapus orang-orang yang telah anda kenal sebelumnya”

Tokyo, 27 Januari 2008 / 20.30

Sunday, January 20, 2008

Aku sahabat waktu

saat kumemanggil semua orang dan berteriak sekencangnya,
hanya satu yang menghampiriku,
seorang sahabat yang selalu ada,

waktu...

bukan untuk terlena,
bukan untuk berfoya,

hanya sahabat yang selalu menemani dalam sepi
bergandengan tangan dalam taman imajinasi

The Conners

(Tanggal asli postingan ini : 27 Juli 2007)

Hari ini ketika kubersihkan lemari bukuku, kutemukan sebuah buku tulis berwarna pink dengan puluhan potongan Koran yang memenuhi sampul depan dan belakang buku itu. Mataku seketika terpaku pada potongan Koran yang berbunyi “BEST FRIEND FOREVER”. Ya ampun, ini kan buku bersama aku dan sahabat-sahabat SMAku.

Kubuka halaman pertama buku itu, dan kutemukan foto aku dan teman-teman segengku waktu SMA. Aku, Tiur, Yuke dan Chacha. Kami menamakan diri kami The Conners, nama yang kami sesuaikan dengan nama Conan dari Sir Arthur Conan Doyle, seorang pengarang cerita fiksi detektif. Ya, kami menyukai buku-buku Conan Doyle. Aku ingat, foto yang kulihat itu diambil tidak sengaja oleh Dwika, teman sekelas kami yang juga “prince charming” bagi Tiur dan Chacha. Di foto itu terlihat Tiur sedang asik me-manicure kuku-kukunya, aku yang duduk disebelahnya sedang menghadap ke meja belakang kami, mengajarkan Chacha yang sedang menyalin PR hari itu. Sedangkan Yuke yang duduk di sebelah Chacha adalah satu-satunya yang sadar kalau Dwika sedang mengambil foto kami dari depan. Yuke tersenyum manis sambil membentuk jarinya “V” pada belakang kepala Tiur. Aku tersenyum melihat foto itu, teringat masa-masa remaja kami yang Indah. Sayang persahabatan kami tak berakhir manis.

Selama kelas satu dan dua, kami semua selalu duduk di kelas yang sama. Kami berbagi cerita sedih dan senang, tentang sekolah, ataupun tentang keluarga. Bahkan sampai kelas tiga pun guru-guru tak tega memisahkan kami.

Kejadian itu berawal pada awal caturwulan ke-2, kelas-3. Tiur dan Chacha yang selama ini bersaing sehat dalam memperebutkan Dwika, menjadi saling bermusuhan sejak awal cawu 2.

Saat itu Tiur sedang sendiri di kelas. Tiur memang rajin dan selalu datang paling awal. Tak seberapa lama Dwika datang dan menghampiri Tiur yang sedang menyelesaikan PRnya. Dwika lalu mengambil buku pink The Conners dan membuka-buka halamannya. Tiur yang kaget, spontan merebut buku itu dari Dwika, tapi Dwika mengelak dan mengangkat buku itu tinggi, agar Tiur tidak dapat meraihnya.

Adegan itu dilihat Chacha dari luar kelas. Dia cemburu, tapi dia menepis rasa itu dan meninggalkan kelas, “mendingan gw ke kantin daripada masuk dan makin cemburu”.

Tiur akhirnya bisa merebut buku itu dari Dwika. Dwika yang sempat membaca sekilas buku itu bertanya pada Tiur

“Yur, emang si Chacha suka kentut yah ? », tanya Dwika yang membuat Tiur kaget.

“Ha?? Hahahahahaha..Lo sempet baca Dwik?”, gelak TIur

“Sedikit doang sih..” aku Dwika

“Ya ampuuun..semua orang suka kentut kali. Malah ada orang yang operasi karena ga bisa kentut”, bela Tiur

“Iya juga yah..hehehe. Eh tapi Chacha tuh ‘dah punya cowo yah ? », Tanya Dwika lebih jauh.

« Hooo,,kayaknya si Dwika suka sama Chacha nih. Yah, otomatis kalah deh gue.. », pikir Tiur dalam hati.

Selanjutnya Tiur bercerita banyak tentang Chacha. Dia sudah merelakan Dwika pada Chacha. Tiur menceritakan hal-hal aneh yang sering dilakukan Chacha. Tiur juga menceritakan kehebatan-kehebatan Chacha.

Tak terasa anak-anak mulai berdatangan. Chacha yang kenyang pun kembali ke kelas. Tapi dia menemukan Tiur dan Dwika sedang asyik tertawa bersama. Dan rasa cemburunya pun kembali terpupuk.

« Hahahaha.. !! serius Yur ??..ya ampun kocak banget!!”, kata Dwika, menanggapi cerita Tiur.

“Serius gue…Eh, baru dateng Cha?”, Tanya Tiur melihat Chacha melewati mejanya dan duduk di meja belakang.

“Nggak, dari tadi pagi! Tapi ga tega masuk, ngeliat lo berdua lagi mesra-mesraan ! »

Chacha tidak bisa menahan rasa cemburunya yang meluap. Dia melemparkan tasnya di atas meja. Tiur yang bingung dengan sikap Chacha mulai mengerti.

« A...Aduuh Cha, lo salah paham. Tadi kebetulan gue n Dwika sama-sama dateng pagi » Jelas Tiur pada Chacha, sambil memberi isyarat pada Dwika agar pergi. Tapi Dwika juga merasa bertanggung jawab atas kesalahpahaman ini.

« Iyah Cha, gw sama Tiur nggak ada apa-apa kok » kata Dwika, berusaha meluruskan masalah.

« Hah ?? siapa yang peduli lo ada apa-apa atau nggak sama Tiur ?? emang lo siapa gue ? gue siapa lo ? » tanya Chacha pada Dwika yang langsung salah tingkah. Walaupun Chacha benar, tapi Dwika tersinggung dengan pernyataan Chacha dan meninggalkan mereka berdua.

« Lo juga !! pengkhianat banget sih !! katanya mau bersaing sehat ?? tapi apaan !! bullshit !! » Chacha tidak dapat mengendalikan dirinya.

“Apaan sih lo ?! nggak denger penjelasan dari gue dulu, udah marah-marah nggak jelas!!” Tiur mulai tersulut kemarahannya.

“Penjelasan apa sih?? Nggak perlu!!” Bentak Chacha.

“Fine !!” Kemarahan Tiur memuncak. Dia enggan menjelaskan kejadian sesungguhnya pada Chacha.

Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Mendengar penjelasan dari Tiur dan Chacha, aku dan Yuke mengerti duduk persoalannya. Kami berusaha mendamaikan mereka, dibantu Dwika yang merasa bersalah. Tapi mata dan hati mereka telah tertutup. Tak satupun penjelasan kami yang mereka dengarkan. Bahkan Tiur yang biasanya dapat berpikir jernih dalam segala kondisipun, kali ini tak mau mendengarkan suara hatinya sendiri. Dia sangat tersinggung disebut pengkhianat oleh Chacha.

Masalah ini tak selesai hingga akhir kami lulus SMA. Chacha telah sangat berubah. Dia pindah tempat duduk dan bergaul dengan teman barunya yang lain. Tiur memiliki pacar dan sibuk dengan pacarnya. Tinggal aku dan Yuke. Kami selalu berusaha membuat hubungan kami membaik kembali, tapi semua sia-sia. Sampai kelulusan kami, Chacha dan Tiur tidak pernah sekalipun mengobrol.

Yuke melanjutkan kuliahnya di UNAND, ikut orangtuanya yang dinas di padang. Tiur yang pandai diterima di UI Salemba, sedangkan Chacha di UI depok. Aku melanjutkan kuliah di UNJ. Sering kucoba menghubungi Tiur dan Chacha untuk sekedar bertemu, tapi luka di hati mereka belum hilang juga. Bulan depan aku wisuda dan akan melanjutkan kuliahku di Malaysia. Aku bertekad untuk mempertemukan Tiur dan Chacha sebelum keberangkatanku.

Tiba-tiba telepon berdering,

“Halo, Assalamualaykum, bisa bicara dengan Shofa?”, Yukeee!! Kukenali suara kecil dari seberang telepon itu.

“Waalaykumussalam, YUKEEE!!!! Ya ampun jeng, kemana ajaaa?”

“Hihihihi..di Padang aja kok Bu..Eh tapi mulai bulan depan gue kerja di Jakarta lho..”

“Iyah?..yeeyy alhamdulilah.. yah, tapi Ke..” Kujelaskan perihal keberangkatanku ke Malaysia bulan depan. Sayang sekali, ketika kami bisa bertemu, ternyata kami harus berpisah lagi.

“Mmmm..yaudah deh Shof, gue ke Jakartanya pertengahan bulan ini aja kaliyah”

“Yakin lo??..yeeeyyy. Love you so much Keee..”

Lalu kami merencanakan pertemuan kami. Kami juga merancang rencana untuk dapat mempertemukan Chacha dan Tiur.

Ternyata Tiur sudah memaafkan Chacha, dia sangat menyesal tidak segera menyelesaikan masalahnya sejak dulu.

“Iya Shof, gue nyesel banget dulu nggak langsung nyelesaiin. Sekarang sediiih banget persahabatan kita putus gara-gara itu doang. Sejak setahun yang lalu gw sadar, gue tulis semuanya di diary gw. Kalau emang Chacha nggak mau ketemu gue langsung, ntar kasih buku itu ke dia yah Shof » Jelas Tiur panjang lebar.

Rencana pun ditetapkan. Chacha akhirnya bisa dibujuk setelah kukatakan kalau aku akan pergi. Yuke juga sudah ada di Jakarta. Dan Tiur pun akan datang membawa diarynya, berjaga kalau-kalau Chacha tidak mau berbicara dengannya.

Akhirnya harinya tiba. Hari ini kami janji bertemu di Kafe Tebet. Kami sepakat tidak mengajak pasangan kami, agar pembicaraan dapat lebih leluasa. Yuke yang masih ingat rumahku, menjemputku di depan rumah. Dia menawarkan untuk menjemput Chacha dan Tiur, tapi hanya Tiur yang bersedia.

“Ke, ke, itu kan tempatnya” Seruku menunjuk sebuah kafe mungil nan nyaman di seberang jalan.

“Oia yah, okeh, gue cari puteran” kata Yuke.

“Eh, tunggu tunggu, gue turun sini yah” kata Tiur tiba-tiba.

“Kenapa?” Tanyaku dan Yuke bersamaan.

“Itu ada tukang rujak. Si Chacha kan doyan banget. Lumayan buat cemilan » Jawab Tiur sebelum beranjak keluar mobil tanpa menunggu jawaban kami.

Sejak dulu Tiurlah yang paling perhatian diantara kami. Dia rajin menanyakan kegemaran-kegemaran kami dan barang-barang yang kami inginkan, lalu tiba-tiba datang ke sekolah dengan hasil buruannya.

Chacha belum datang. Kami memilih sofa panjang dekat jendela yang mengarah ke jalan raya. Lalu telepon selularku berbunyi,

“Shof, gue sebentar lagi sampai..Kiri-kiri pak, iya disini. Sof gue udah sampai ding..hehe..” Chacha keluar dari Taxi biru. Penampilannya tidak banyak berubah. Selalu modis dan berwarna ungu.

“Chachaaaaaaa..!!!!” Teriak Tiur dari seberang jalan. Chacha melihatnya dan melambai sekenanya tanpa tersenyum. Terlihat jelas kalau Chacha belum melupakan masalah mereka dulu.

“Chaaaa!!” Teriak Tiur lagi, sambil berusaha menyeberang jalan. Tapi Chacha tak menggubrisnya. Lalu aku dan Yuke keluar kafe. Kuhampiri Chacha yang cuek pada Tiur,

“Cha, please dong, jangan childish gitu. Si Tiur tuh…”

“TIUUUUURRRR!!!!!!” Teriak Yuke dari sebelahku

« CIIIITTTTT....BRUUUUUUKK.. !!! » Suara mobil tabrakan.

Kami bertiga serentak menengok ke sumber suara.

Diseberang sana TIur tergeletak di tengah jalan bersimbah darah. Mobil yang menabraknya berusaha menghindari Tiur dengan mengarahkan kemudi ke bahu jalan, tapi sayang terlambat. Kami berlari ke tempat Tiur terjatuh. Tiur tak sadarkan diri, sementara darah segar terus mengalit dari sekujur tubuhnya.

“Ambulan!! Cepat panggil ambulaaann!!” Kataku, yang serentak direspon Yuke yang menelepon rumah sakit terdekat dengan telepon genggamnya.

“Yuuur..TIuuurr..bangun Tiuurrr..” Aku menepuk-nepuk pipi Tiur, berusaha membuatnya tersadar. Tapi tiur telah tak sadarkan diri.

Chacha terdiam membisu. Wajahnya mengekspresikan berbagai perasaan. Sedih, kaget, bingung, sesal. Dia hanya bisa ternganga, melihat sahabatnya terbaring tak berdaya. Plastik tempat rujak masih dalam genggaman TIur. Isinya berhamburan di jalanan.

“Rujak itu…” bisik Chacha dengan suara yang tercekat. Chacha mengerti kalau Tiur khusus membelikan rujak itu untuknya. Tiur paling tahu kegemaran Chacha.

Tak lama kemudian sirine ambulan terdengar mendekat. Jalanan yang macet tak menghalangi mobil itu menuju tempat kami berada.

Aku dan Yuke menangis. Kami tak sanggup melihat sahabat kami terbaring tak berdaya.

“Ke, lo ajak Chacha, bawa mobil lo ke rumah sakit, trus hubungin orangtua TIur yah, gue nemenin Tiur di ambulan” Yuke mengangguk, dan langsung menyambar tangan Chacha yang masih berdiri membeku.

Ambulan melaju kencang ke Rumah Sakit Tebet. Para petugas medis berusaha menolong TIur dengan alat-alat yang nama dan fungsinya tak kuketahui.

Tak lama, kami tiba di rumah sakit. Yuke dan Chacha belum tiba. Orang tua Tiur juga masih dalam perjalanan. Tiur segera dilarikan ke UGD. Pada petugas medis yang menolong TIur di ambulan, aku bertanya keadaan sahabatku,

“Pak, teman saya nggak papa kan?”

“Sekarang kami belum tahu mbak, tapi terus berdoa yah”

Tak lama Yuke dan Chacha tiba. Chacha menangis.

« Shof, Tiur nggak papa kan? » Tanya Yuke dan Chacha bersamaan

“Nggak tau, tadi langsung masuk UGD…” Jawabku

Chacha langsung menangis di pundak Yuke. Aku berusaha tabah dan menyembunyikan kesedihanku, tapi sulit. Jadi kuputuskan untuk berwudhu, dan meminta kesembuhan sahabatku pada Yang Maha Memberi.

Ketika aku kembali, keluarga Tiur sudah ada di depan ruang UGD. Mama TIur menangis pada pundak suaminya. Tak lama dokter keluar.

“Maaf, apa disini ada keluarganya?”

“Saya ibunya dok. Gimana anak saya?”

“Anak ibu masih kritis bu. Dia perlu transfusi darah. Apa ada yang darahya sama dengannya ? »

« Saya Dok, darah saya sama » kata Mama Tiur

“Mah, mama kan sakit ginjal, harus cuci darah terus, jadi nggak bisa dong ma, biar papa aja”

“Tapi pa, darah papa dan Tiur kan beda, mama aja yah”

“Maaf bu, kami tidak bisa mengambil darah orang yang sedang sakit, apalagi menurut bapak, ibu sakit ginjal” Sela dokter

Ya, sejak beberapa bulan yang lalu mama Tiur divonis sakit ginjal. Tiur ingin mendonorkan ginjalnya untuk ibunya, hanya tinggal tunggu waktunya saja. Sedangkan ayah kandung Tiur sudah meninggal. Papa Tiur yang sekarang adalah ayah tirinya. Walaupun bukan ayah kandung, papa tiri Tiur sangat baik pada anak-anaknya. Tiur anak pertama, adik-adiknya masih kecil.

“Gimana dong pa…”

“Ehmm..dok, tolong periksa darah saya yah. Dulu pernah donor di SMA sama-sama Tiur, dan darah kami kebetulan sama” Kata Chacha tiba-tiba.

Kami semua menengok padanya. Aku dan Yuke memandang Chacha dengan tatapan heran.

“Nggak usah kaget gitu donk Shof, Ke, gue udah sadar kok” Kata Chacha, seolah tahu yang kami pikirkan.

Dalam hitungan detik, Chacha diajak dokter untuk diperiksa darahnya. Karena positif sama, Chacha segera memutuskan untuk menyumbangkan darahnya pada Tiur.

Beberapa hari kemudian Tiur siuman. Yang pertamakali dicarinya adalah rujak yang dibelikannya untuk Chacha.

“Mah, rujak buat Chacha mana? Chacha suka banget rujak Ma” Kata tiur pada Mamanya yang menungguinya dirumah sakit.

Kami yang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tiba-tiba mendapat telepon dari Mama Tiur.

“Kriiiiing kriiiiiiing kriiiiiiiing”

Aku terbangun dari mimpiku. Kuangkat telepon rumah yang berbunyi kencang. Dari mama. Mama memintaku menjemputnya dari pasar.

Masih kugenggam buku tulis pink yang masih bagus. The Conners..andai saja kecelakaan itu tak terjadi..

Kubuka tulisan terakhir kami di buku itu…

Hwaaaa besok Tour Perpisahan ke Jogjaaaaaaa!!!! Sayang banget Shofa nggak bisa ikuuuutt. Buat Shofa sayang, cepet sembuh yaah, nanti kita bawain oleh-oleh cowok dari Jogja..oops, maksudnya gudeg..hihihi jauh banget yah gudeg sama cowok…

With Love,

Tiur imut,

Yuke manis

Chacha cantik

Lalu kubuka halaman terakhir. Potongan artikel Koran yang kugunting dan kutempel di buku kami.

KECELAKAAN MAUT BUS SMA

Magelang. Malang benar nasib serombongan murid SMA Budi Luhur. Tour perpisahan SMA mereka jadi benar-benar « perpisahan » bagi hidup mereka. 40 penumpang Bus kelas 3-A SMA Budi Luhur meninggal seketika dalam kecelakaan maut. Bus naas itu jatuh ke jurang setelah sebelumnya menghindari mobil kijang di depannya yang mengerem mendadak…

TIur, Yuke, Chacha, rindu sekali aku pada kalian. Lalu kumenangis dalam kebisuan, teringat masa-masa indah SMA kami...

Thamrin, 27 Juli 2007

~3 hari terakhirku di Marubeni~

Komentar untuk postingan ini pada blog sebelumnya :

Blogger
Sukma
said...

hooooooooooooooooooooooooo

FINISHING yang bagus !!!!
keren mbak ^_^

Sayangnya kurang jelas tuh, dari mana sampai mana yang hanya mimpi.. dan dari mana sampai mana yang memang kenangan di SMA

October 19, 2007 12:01 AM


Senyum Marni

(Tanggal asli postingan ini : 26 Juli 2007)

Gerimis tidak menggoyahkan ibu itu untuk beridiri di ujung tangga jembatan penyebrangan. Seperti hari-hari sebelumnya, ibu itu menggendong anaknya dengan kain panjang di tangan kirinya sambil membawa sekantung plastik besar tissue Pigeon dan permen Xie-C di tangan kanannya. Dengan sunggingan senyum ikhlasnya, ibu itu menawarkan tissue pada tiap orang yang melewatinya, “tissue pak, tissue bu”.

Meski kuperhatikan tak satupun dari pejalan kaki membeli tissue seharga Rp.1000 itu, tapi ibu itu tak henti tersenyum pada setiap orang yang ditawarkannya. Kalau orang yang melewatinya membalas senyumannya, dia akan berterimakasih dengan tulus, “terimakasih bu”.

Ibu itu jadi langgananku sejak 3 bulan lalu aku mulai bekerja dan melewati jalan ini. Setiap pagi kulewati jembatan penyeberangan itu untuk menunggu bus menuju kantorku di daerah Jakarta Kota. Sebenarnya aku tidak terlalu perlu tissue, karena dikantorku sudah disediakan tissue di setiap meja karyawan. Tapi menerima senyum dan ucapan terimakasih yang tulus setiap pagi menambah kepercayaan diriku untuk memulai hari.

Suatu hari, kucoba untuk melewati jalan itu di hari sabtu,

"Bu, sudah siang, saya perhatikan ibu dan anak ibu belum makan sejak tadi", sapaku.

"Oh, hari ini kerja juga mbak ? biasanya kalau sabtu saya nggak lihat mbak", ternyata dia mengenaliku.

"Tidak bu, saya hanya lewat saja. Ibu sudah makan?”

“Belum mbak, tanggung sebentar lagi”

“Tapi sekarang sudah jam 1 lho bu, anak ibu tidak lapar?”

“Iya, tapi uang untuk makan siang kami belum cukup mbak. Hari ini saya kesiangan, baru mulai jualan jam 11 tadi”

“Ya sudah, hari ini saya traktir yah bu. Kebetulan saya ulang tahun”

“Ah, nggak usah mbak, saya nggak mau berhutang”

“Tidak bu, ini bukan piutang, tapi saya yang taktir ibu kok”

Akhirnya dengan sedikit memaksa, aku berhasil mengajak ibu itu makan siang bersama di warung dekat situ. Dia bercerita banyak tentang hidupnya. Namanya Marni. Suaminya meninggal tahun lalu dalam sebuah kecelakaan bus ketika sedang berjualan di dalam bus. Kejadian itu memaksanya untuk memutar otak mencari penghasilan untuk 3 anaknya. Anak sulungnya duduk di kelas 6 SD. Selain sekolah, anak itu membantu ibunya menjaga warung kelontong kecil mereka. Anak keduanya masih kelas 3 SD. Kadang dia ingin ikut ibunya berjualan, tapi Marni selalu melarangnya, karena tak tega melihat anaknya menjadi anak jalanan. Sedangkan si bungsu tak bisa lepas dari ibunya. Kalau ditinggal berjualan dia akan menangis sejadi-jadinya, sehingga Marni tidak pernah bisa meninggalkan anak bungsunya itu dirumah. Marni bertekad menyekolahkan semua anaknya. Dia tidak ingin mereka tumbuh menjadi seperti orangtuanya. Dia ingin ketika besar nanti, ketiga anaknya dapat membuatnya bangga.

Jarum pendek sudah menunjuk ke angka 2, sedangkan jarum panjang tepat di angka 12 ketika seorang anak berusia 9 tahunan memasuki warung tempat kami makan dan menghampiri Marni,

“Ibu, mbak Sulis sakit. Badannya panas sekali. Tadi Anwar kasih kain dingin di kepalanya. Dia nyebut2 ibu terus bu…”

“Ya Allah, kenapa Sulis. Ayo nak, kita cepat pulang. Mbak, makasih yah makannya, tapi saya harus cepat pulang".

“Iya bu, nggak papa. Saya juga harus pulang sekarang. Sebentar yah bu” Kuambil uang dari dompetku, dan kubayarkan sebagian pada pemilik warung makan.

“Bu Marni, ini sedikit dari saya, semoga cukup untuk mengobati Sulis ya Bu”.

“Aduh mbak, tapi saya…”

“Ibu, sekarang ibu bawa dulu saja. Ibu pasti perlu untuk mengobati Sulis nanti. Saya tidak bisa membantu apa-apa bu, hanya bisa ini"

"Baik mbak, terimakasih yah. Saya nggak tahu gimana harus menggantinnya”

“Ibu tidak usah memikirkan cara menggantinya. Melihat senyum ibu setiap pagi selama ini saja sudah sangat menghibur saya”

“Makasih yah mbak, makasih…”

“Sama-sama bu”

Lalu Marni tersenyum tulus sebelum pulang sambil menggandeng Anwar.

Itu terakhir kali aku melihat wanita perempat baya itu. Selama sebulan penuh kutunggu kehadirannya di ujung tangga jembatan penyeberangan, tapi tak kulihat seharipun kehadirannya. Kutanya pada penjual minuman yang sering mangkal di dekat situ, katanya sebulan yang lalu anak sulungnya meninggal karena demam berdarah. Sejak itu dia menjaga toko kelontong besar di dekat rumahnya. Karena ingin tahu kabar terbaru Marni, kutanya alamat rumah wanita itu pada penjual minuman tadi.

Suatu sabtu, kuajak temanku ke daerah bantar gebang, Bekasi, rumah Marni yang ditunjukkan oleh penjual minuman. “Bantar gebang – Jati bening? Jauh sekali Marni berjualan tissue”, pikirku.

Ketika kutemukan sepetak rumah kontrakan dengan toko kelontong kecil, Anwar sedang bermain kelereng dengan teman-teman sebayanya. “Mbak Ndari!!! Sebentar yah mbak, Anwar panggil Ibuuu”. Rupanya jagoan kecil itu masih ingat padaku, padahal pertemuan kami sebulan yang lalu sangat singkat.

Tak lama Marni muncul dari arah yang berlawanan dengan arah kami datang.

“Mbak Ndari..aduh mbak, jauh-jauh kesini..”

“Saya ingin tahu kabar Bu Marni. Sejak sebulan yang lalu saya tidak pernah melihat ibu berjualan tissue lagi..”

“Iya..Mari mbak masuk..”

Kukenalkan sahabatku pada Marni, “Ini teman saya, Safi”. Marni juga mengenalkan rumah mungilnya pada kami.

Toko kelontong kecil yang bertengger di depan rumahnya ternyata dijaga oleh Anwar, sementara Marni bekerja pada toko kelontong besar di ujung gang rumahnya. Marni bangga pada anaknya itu. Dia menceritakan prestasi Anwar di sekolahnya. Selain pandai di sekolah, Anwar juga pandai berdagang, cerita Marni.

Marni juga bercerita tentang kematian Sulis. Katanya, ketika sebulan yang lalu Anwar menghampiri kami di warung makan Jati Bening, Sulis mengalami panas hebat. Apalagi setibanya dirumah, Marni menemukan bintik-bintik merah di tangan gadisnya itu. Setelah bertanya macam-macam pada Sulis, akhirnya Marni baru tahu kalau sebenarnya Sulis sudah mengalami demam sejak seminggu sebelumnya, tapi Sulis menyembunyikannya dari Marni karena takut ibunya khawatir.

"Saya sangat menyesal mbak. Kenapa saya nggak tahu apa-apa tentang anak saya. Harusnya saya bisa melihat kalau Sulis nggak enak badan waktu itu”, ungkapnya sambil sesekali menangis mengingat kejadian pahit itu.

“Sulis anak yang baik mbak, dia pasti tidak ingin merepotkan mbak. Ikhlaskan saja kepergiannya ya mbak. Mudah-mudahan diterima disisi-Nya..”

Lalu kami mengobrol banyak. Marni senang bekerja di tempat ia bekerja sekarang. Selain penghasilannya lebih besar dari berjualan tissue, Marni jadi bisa mengawasi Anwar dan Retno, anak bungsunya.

Sahabatku, Safi tertarik dengan keluarga Marni. Kami memutuskan untuk memberi Marni modal untuk usaha. Karena Marni telah memiliki toko kelontong, Safi mengusulkan agar Marni menggunakan uang itu untuk memperbesar tokonya. Atau mengubahnya menjadi toko sayur. Marni menyambut baik usul Safi dan sangat berterimakasih pada kami. Sekali lagi aku dapat melihat senyuman tulus di wajah Marni. Ternyata itu yang membuatku penasaran selama ini. “Wanita ini hebat”, pikirku. Ketika kutanyakan padanya, mengapa dia bisa terus tersenyum seperti itu, dijawabnya dengan, “Saya Cuma mau anak-anak saya jadi orang mbak. Makanya, saya mau semua yang saya lakukan diberkahi Allah. Saya harus benar-benar ikhlas dan tulus untuk mendapatkan ridho-Nya”. Aku dan Safi kagum padanya. Kemiskinan tidak menghalanginya untuk tetap berfikir jernih. Sebuah pelajaran penting yang dapat kuambil hari itu.

Thamrin, 26 Juli 2007

~4 hari terakhirku di Marubeni~