Saturday, July 26, 2008

Singgasana Kesayangan

Tanpa menoleh sedikitpun dari layar komputer, Angga memasukkan sesendok nasi dengan tangan kirinya.

“Anggaa, makan pake tangan kanan !” Tegur ibunya yang tidak sengaja lewat di depan kamarnya.

Satu jam kemudian,
Kriiiing kriiiiing
“Ngga, telpon nih dari Ayu” Panggil Bimo, adiknya
“Bilang Angga lagi sibuk!” Sahut Angga masih di depan komputer.

Dua jam kemudian,
“Anggaaa, haduh anak iniii. Sekarang udah jam berapa hayo. Kamu belum Dzuhur yah?!”
“Bentar maaa”
“Sekarang udah ashar lho!”
“Iya nanti Dzuhurnya dijamak aja” Jawab Angga cuek

Tiga jam kemudian,
Angga yang mulai lelah duduk di depan komputer sejak pagi akhirnya beranjak dari singgasana kesayangannya itu. Dia berjalan ke lemari es, mengambil sekotak coklat dan sebotol air putih. Tiba-tiba Angga menyadari sesuatu. Rumahnya mendadak sepi. Tidak ada suara Bimo yang merengek ataupun ibunya yang sering memarahinya.

“Maah, mama lagi ngapain?”
Hening. Tak didengarnya jawaban dari ibunya

“Woi Bimo, sekarang jamnya kartun tuh, lo kan suka nonton itu!”
Sepi. Bahkan acara yang tak pernah alpa ditonton adiknya itu tak menarik perhatian sang adik.

Aneh, pada keluar kemana ya. Tak biasanya ibu dan adiknya meninggalkannya sendiri. Biasanya mereka selalu pamit kalau ingin pergi.

Ah, bentar lagi juga papa pulang, pikirnya. Lalu angga kembali melanjutkan keasyikannya.

Satu jam berlalu.
Duh, sampe papa juga nggak pulang-pulang sih.

Angga mulai panik. Adzan maghrib telah berkumdang dari masjid dekat rumahnya Seharusnya ayahnya sudah sampai dirumah sejak setengah jam yang lalu. Ayahnya selalu pulang sebelum adzan maghrib berkumandang.

Angga berlari keluar rumah. Dihampirinya rumah tetangga, barangkali ibunya sedang asyik bergosip dengan ibu sebelah hingga lupa waktu. Tapi rumah sebelah pun tidak menunjukkan adanya kehidupan. Tak ada suara inem yang biasanya menyanyi sambil mengepel lantai.

Sekarang Angga berlari ke warung pakde. Mungkin saja ibunya sedang belanja disana. Tapi lagi-lagi hanya keheningan yang ditemukannya. Warung pakde hari ini sepi, tak ada pengunjung. Tak ada pula pakde yang selalu duduk di depan warungnya dengan singlet dan sarung apek kebanggaannya sambil menghisap rokok.

Ah, pasti di masjid. Tadi kan adzan maghrib. Mungkin orang-orang sholat disana trus langsung ikut pengajian.
Lalu bergegaslah Angga ke masjid Al Muhajirin, masjid terbesar diantara masjid-masjid komplek sekitarnya.

Kali ini Angga menemukan harapan. Suara orang-orang yang melantunkan ayat Al-Quran terdengar dari dalam masjid. Namun suara itu tiba-tiba berhenti. Angga yang penasaran pun masuk ke dalam masjid.
“Assalamualaykuuum..”
Kosong.

Tak dijumpainya seorangpun warga kompleknya sedang mengaji di dalam masjid.
Rupanya suara keramaian yang didengarnya tadi hanya rekaman kaset yang diputar dengan tape di depan mikrofon.

Duh, kemana nih orang-orang, pikirnya lirih. Angga semakin panik. Dia berlari kesana kemari, memanggil siapapun yang dikenalnya. Tapi tak satupun jawaban yang diterimanya. Hanya angin sore yang mengejeknya, menghembuskan debu dan dedaunan kering ke arahnya.

Angga kembali ke rumahnya. Tenang, tenang, ini pasti mimpi. Tadi kan gue lagi main, pasti semuanya akan pulih kalo gue main lagi, pikirnya.

Angga pun kembali ke singgasana kesayangannya. Tapi kali ini teman terdekatnya itu pun tidak memihaknya. Layar komputernya kini berwarna biru terang. Sederet kata-kata dalam tinta putih muncul bergerak menyamping,


“Ini bukan permainan. Sebagai hadiah dari kami atas keberhasilan anda melewati setiap babak, kini anda memiliki dunia anda sendiri. Anda bebas melakukan apa saja di dalamnya. Oh ya, demi terbangun dunia yang indah, tentu saja kami harus menghapus orang-orang yang telah anda kenal sebelumnya”

Tokyo, 27 Januari 2008 / 20.30

1 comment:

Anonymous said...

Pernah dipost ke kemudian.com